Sepeninggal suamiku menghadap Ilahi karena sebuah kecelakaan di tahun 2005, aku, Murini, harus banting tulang menghidupi dua anakku, Siti Fatimah dan Aisiyah. Keterbatasanku sebagai orangtua tunggal membuatku memilih tinggal bersama orangtuaku di desa. Meski hidup dalam kekurangan dan tinggal di rumah kayu yang dindingnya sudah bolong-bolong termakan usia, aku tak patah semangat. Aku bertekad akan menyekolahkan anakku hingga perguruan tinggi. Biarlah aku saja yang bodoh, biar aku saja yang miskin, tapi anak-anakku harus pintar. Anak-anakku harus kaya. Mereka harus jadi orang. Itulah impianku.
Aku mencari nafkah dengan berjualan ikan. Setiap hari aku membeli ikan di Pasar Sampang. Macam-macam jenis ikan yang kubeli, di antaranya ikan tongkol, layur, pangantek, bandeng dan lain-lain. Ikan yang kubeli bukanlah ikan-ikan berukuran besar, melainkan ikan-ikan kecil yang diborongkan penjualnya dengan harga murah. Sesampai di rumah, barulah ikan-ikan itu kukelompok-kelompokkan sesuai ukurannya. Ikan segar itu kemudian kumasukkan ke dalam tenong dan kutawarkan keluar-masuk kampung. Aku berjualan dengan cara meletakkan tenongku di atas kepala dan dengan berjalan kaki.
Pagi-pagi sekali, usai salat subuh, aku sudah keluar rumah untuk melakukan aktivitas berjualan sehari-hari. Untuk sampai ke jalan besar, aku harus berjalan kaki sejauh 3 km. Maklum saja, rumahku jauh. Tepatnya di Desa Pangong-sean, Torjun, Sampang. Untuk mencapai jalan besar, aku harus melewati pematang sawah dan ladang yang terhampar luas. Kondisi jalan di daerahku tidaklah bersahabat. Di musim kemarau seperti sekarang panasnya luar biasa. Tanah ladang di sekitar rumah kami sampai merekah saking keringnya. Sebaliknya, di musim penghujan, kondisinya berlumpur dan becek. Kondisi alam seperti itu sudah menjadi bagian hidup kami sehari-harinya.
Sesampai di jalan besar, barulah aku menaiki angkutan kota menuju pasar kota yang lumayan jauh. Sesampai di pasar, aku segera membelanjakan uang sekitar Rp. 300.000 untuk mendapatkan berbagai macam ikan-ikan segar, tanpa memilih jenis dan ukurannya. Cara membeli seperti itu memang lebih murah. Dengan demikian aku bisa mendapatkan keuntungan lebih banyak.
Bila telah selesai belanja, aku segera pulang dan mempersiapkan barang daganganku.
Setelah semuanya beres aku pun pergi menjajakan ikan-ikan itu keluar-masuk kampung. Jika ikan-ikan habis terjual aku bisa mengantongi keuntungan Rp. 30.000 hingga Rp. 40.000. Namun terkadang aku hanya membawa pulang keuntungan sebesar Rp. 20.000. Terlebih karena tidak sedikit pembeli ikan-ikanku yang berutang. Karena itu uang yang kubawa pulang usai berjualan belum tentu besar. Meski demikian, aku mensyukurinya, karena itulah rejeki yang diberikan Tuhan untukku.
Berapapun keuntungan yang kudapat, itulah yang kugunakan untuk membiayai hidupku dan dua buah cintaku dari suamiku, Muhammad Jatim : Fatimah kelahiran 21 Maret 1994 dan Aisiyah yang dilahirkan 26 Januari 1996. Ya, sejak kepergian suamiku di tahun 2005, aku menjadi penopang hidup keluarga kami.
Suamiku masih keluarga salah satu pondok pesantren di Sampang. Tepatnya Ponpes Duwek Puteh pimpinan Ra Tamtam. Pria yang menikahiku di tahun 1992 itu bekerja di kapal pesiar. Sehari-hari, waktunya dihabiskan di laut. Sebelum menikah denganku ia pernah menikah dengan wanita lain. Sayang, pernikahan itu harus berakhir karena istrinya meninggal dunia. Aku adalah salah satu santri di pondok pesantren keluarganya itu. Melihat kesungguhanku menuntut ilmu, Muhammad Jatim jatuh hati dan kemudian melamarku untuk menjadi istrinya.
Sebagai pelaut, suamiku sangat pahan dengan kondisi laut dan alam. Kebetulan, di pondok pesantre yang dimiliki orangtuanya, ilmu falak diajarkan kepada seluruh santri. Kebetulan lagi, Jatim adalah santri yang cukup cerdas. Ilmu dalam Al Quran itu dilalapnya habis. Hasilnya, suamiku bisa membaca gejala alam yang terjadi. Termasuk kondisi geografis di tengah laut tanpa bantuan peralatan satu pun. Bahkan ilmu yang dikuasainya itu juga bisa dipakai untuk menentukan tanggal dan bulan saat kapalnya berada di tengah laut, tanpa melihat kalender.
Ilmu falak yang mengandalkna bulan, matahari dan bintang ini juga dipakai para tokoh agama Islam untuk menentukan awal Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Untuk membaca tanda-tanda alam, para tokoh agama itu menyaksikannya dari laut. Misalkan di Pacitan dan Lamongan. Hilal demikian sebutan populernya - akan jadi patokan dimulainya Bulan Suci Ramadhan.
Dan Jatim mengajarkan hal itu kepada Fatimah - demikian panggilan akrab putri pertamaku, saat dia masih bocah. Pelajaran yang diberikan dalam bentuk dongeng itu direkam dengan baik dalam otak anakku. Fatimah memang cerdas. Apa saja yang diceritakan Bapaknya dengan mudah ia tangkap.
Untuk mendapatkan anak yang cerdas dan mengerti kondisi orangtuanya, aku melakukan berbagai macam ikhtiar. Salah satu yang tak pernah kutinggalkan adalah salat tahajjud setiap malam. Bacaan yang diperbanyak adalah Al Fatihah. Surat inilah yang kutawasulkan untuk kedua anak perempuanku. Tidak hanya itu, salat sunnah lain seperti dluha, juga kujalankan tanpa jeda. Selain itu juga aku rajin berpuasa sunnah. Hasilnya sangat mujarab. Baik Fatimah maupun adiknya Aisiyah, pintar dan cerdas.
Di samping itu, kedua anak gadisku yang sudah duduk di bangku SMA itu tidak pernah merepotkanku. Mereka tidak pernah protes meski sejak SD hingga SMA, keduanya tidak pernah kuberi uang untuk jajan. Aku rasa mereka mengerti kondisi keuangan ibunya yang pas-pasan ini. Lagi pula dari mana aku harus mendapatkan uang untuk jajan mereka.
Untuk makan sehari-hari saja, aku kerap memberikan nasi jagung. Hanya sesekali aku menyajikan menu makan nasi putih. Ikan yang dimakan pun seadanya. Jika ada ikan sisa berjualan yang tidak laku, itulah yang kami makan beramai-ramai. Sisanya dibuat ikan asin atau disimpan untuk lauk keesokan hari. Namun aku bersyukur, meski hidup memprihatinkan, anak-anakku tidak pernah rendah diri. Malah mereka selalu berprestasi di sekolah, bahkan mampu bersaing dengan anak-anak dari keluarga mampu.
Meskipun hidup penuh keprihatinan, aku tak patah semangat. Fatimah selalu kuberi motivasi untuk terus sekolah dan berprestasi. Terbukti, ia selalu menjadi siswi berprestasi di sekolahnya. Saat bersekolah di SDN Pangosean 1, Fatimah selalu menduduki ranking pertama. Begitupula ketika sekolah di SMP 1 Sampang, lagi-lagi ia juga meraih ranking pertama sejak kelas 1 hingga kelas 3. Yang mengharukan putriku tak pernah mengeluh meskipun harus berjalan kaki dari rumah kami ke sekolahnya di Sampang kota yang berjarak sekitar 3 km. Bayangkan, untuk bersekolah saja, Fatimah harus berjalan kaki sejauh 6 km pulang-pergi.
Padaku Fatimah pernah mengutarakan keinginannya melanjutkan sekolah ke SMAN 1 Sampang selepas SMP. Tapi aku tidak berani menjanjikan apa-apa. Maklum saja, penghasilanku dari berjualan ikan keliling hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Aku sebenarnya sedih belulm mengabulkan keinginannya itu. Namun Fatimah tak berkecil hati. Ia berusaha mewujudkan impiannya dengan usaha kerasnya sendiri.
Karena itu aku sangat terharu mendengar ia berhasil menjadi juara II dalam Ajang Kreasi Sains dan Bahasa Inggris (AKSI) yang diadakan SMAN 1 Sampang, dan mendapat hadiah beasiswa selama 1 tahun. Ia pun bisa bersekolah gratis di sana selama 1 tahun.
Ketika Fatimah sudah duduk di bangku SMA itulah, keluarga dari almarhum bapaknya memintanya tinggal bersama bibinya di Kota Sampang. Maklum saja jarak antara rumah kami di Pangosean dengan Sampang kota cukup jauh. Kasihan, bila ia harus bolak-balik sejauh itu. Apalagi kegiatannya di sekolah sangat padat. Jadi, Fatimah sekarang tidak tinggal di desa lagi. Ia hanya pulang setiap hari libur atau bila ada keperluan.
Sama seperti ketika SD dan SMP, di SMA, lagi-lagi Fatimah meraih ranking pertama di sekolahnya. Nilai rata-rata rapornya yang terakhir adalah 8,89. Prestasinya memang membanggakan. Bahkan ia berhasil meraih medali perak olimpiade Astronomi seAsia-Fasifik yang diselenggarakan Desember tahun lalu.
Kini putri tercintaku itu tengah dipersiapkan oleh sekolahnya untuk mengikuti lomba yang sama. Aku senang dan bangga Fatimah bisa berprestasi di ajang international dan membanggakan negaranya.
(Sumber : Majalah Kartini)
0 komentar :
Posting Komentar