"Hey kamu....ayo sini," sapa Luqman dengan halus kepada seorang bocah yang dengan sengaja menganggu anak kecil lain yang sedang berpuasa.

"Siapa namamu? Dari mana asal kamu?" tanya Luqman sambil memegang lengan bocah itu. Sebenarnya Luqman gemas, tapi ia tahan kegemasan itu. Meski ditanya dengan sopan, bocah itu malah balik mendelik ke arah Luqman dan tertawa menyeringai! Tawa bocah itu membuat Luqman segera melepaskan pegangannya seketika. Luqman merasa bocah ini bukanlah anak sembarangan. Sungguh pun penampilannya kayak bocah biasa. Kaos plus celana pendek. Agak lusuh tapi bersih.
Luqman melihat mata bocah itu. Mata itu bukanlah mata anak manusia pada umumnya. Ditambah lagi, sebelumnya Luqman tidak pernah melihat bocah itu di kampungnya, kampung Ketapang,Tangerang. Luqman sudah bertanya kesana kemari, adakah tetangga atau orang dikampungnya yang mengenali siapa bocah itu dan siapa keluarganya. Semua orang yang ditanya Luqman menggelengkan kepala, tanda tak tahu.
*******************
Bocah itu menjadi pembicaraan di kampung Ketapang. Sudah tiga hari ini ia mondar-mandir keliling kampung. Ia menggoda anak-anak sebayanya, menggoda anak-anak remaja di atasnya, dan bahkan orang-orang tua. Hal ini bagi orang kampung sungguh menyebalkan. Yah, bagaimana tidak menyebalkan, anak itu menggoda dengan berjalan kesana kemari sambil tangan kanannya memegang roti isi daging yang tampak coklat menyala. Sementara tangan kirinya memegang es kelapa, lengkap dengan tetesan air dan butiran-butiran es yang melekat diplastik es tersebut. Pemandangan tersebut menjadi hal biasa bila orang-orang kampung melihatnya bukan pada bulan puasa! Tapi ini justru terjadi di tengah hari pada bulan puasa! Bulan ketika banyak orang sedang menahan lapar dan haus. Es kelapa dan roti isi daging tentu saja menggoda orang yang melihatnya.
Pemandangan itu semakin bertambah tidak biasa, karena kebetulan selama tiga hari semenjak bocah itu ada, matahari di kampung itu lebih terik dari biasanya. Luqman mendapat laporan dari orang-orang kampung mengenai bocah itu. Mereka tidak berani melarang bocah kecil itu menyodor-nyodorkan dan memperagakan bagaimana dengan nikmatnya ia mencicipi es kelapa dan roti isi daging tersebut.
Pernah ada yang melarangnya, tapi orang itu kemudian dibuat mundur ketakutan sekaligus keheranan. Setiap dilarang, bocah itu akan mendengus dan matanya akan memberikan kilatan yang menyeramkan. Membuat mundur semua orang yang akan melarangnya.
***********************
Luqman memutuskan akan menunggu kehadiran bocah itu. Kata orang kampung, belakangan ini, setiap bakda zuhur, anak itu akan muncul secara misterius. Bocah itu akan muncul dengan pakaian lusuh yang sama dengan hari-hari kemarin dan akan muncul pula dengan es kelapa dan roti isi daging yang sama juga!
Tidak lama Luqman menunggu, bocah itu datang lagi. Benar, ia menari-nari dengan menyeruput es kelapa itu. Tingkah bocah itu jelas membuat orang lain menelan ludah, tanda ingin meminum es itu juga. Luqman pun lalu menegurnya. Cuma,ya itu tadi,bukannya takut, bocah itu malah mendelik hebat dan melotot, seakan-akan matanya akan keluar Luqman.
"Bismillah..." ucap Luqman dengan kembali mencengkeram lengan bocah itu. Ia kuatkan mentalnya. Ia berpikir,kalau memang bocah itu bocah jadi-jadian, ia akan korek keterangan apa maksud semua ini. Kalau memang bocah itu "bocah beneran" pun, ia juga akan cari keterangan, siapa dan dari mana sesungguhnya bocah itu.
Mendengar ucapan bismillah itu, bocah tadi mendadak menuruti tarikan tangan Luqman. Luqman pun menyentak tanggannya, menyeret dengan halus bocah itu, dan membawanya ke rumah. Gerakan Luqman diikuti dengan tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang yang melihatnya.
"Ada apa Tuan melarang saya meminum es kelapa dan menyantap roti isi daging ini? Bukankah ini kepunyaan saya?" tanya bocah itu sesampainya di rumah Luqman, seakan-akan tahu bahwa Luqman akan bertanya tentang kelakuannya. Matanya masih lekat menatap tajam pada Luqman.
"Maaf ya, itu karena kamu melakukannya di bulan puasa," jawab Luqman dengan halus,"apalagi kamu tahu,bukankah seharusnya kamu juga berpuasa? Kamu bukannya ikut menahan lapar dan haus, tapi malah menggoda orang dengan tingkahmu itu.." Sebenarnya Luqman masih akan mengeluarkan uneg-unegnya, mengomeli anak itu. Tapi mendadak bocah itu berdiri sebelum Luqman selesai. Ia menatap Luqman lebih tajam lagi.
"Itu kan yang kalian lakukan juga kepada kami semua! Bukankah kalian yang lebih sering melakukan hal ini ketimbang saya..?! Kalian selalu mempertontonkan kemewahan ketika kami hidup di bawah garis kemiskinan pada sebelas bulan diluar bulan puasa? Bukankah kalian yang lebih sering melupakan kami yang kelaparan, dengan menimbun harta sebanyak-banyaknya dan melupakan kami? Bukankah kalian juga yang selalu tertawa dan melupakan kami yang sedang menangis? Bukankah kalian yang selalu berobat mahal bila sedikit saja sakit menyerang, sementara kalian mendiamkan kami yang mengeluh kesakitan hingga kematian menjemput ajal..? Bukankah juga di bulan puasa ini hanya pergeseran waktu saja bagi kalian untuk menahan lapar dan haus? Ketika bedug maghrib bertalu, ketika azan maghrib terdengar, kalian kembali pada kerakusan kalian..!?" Bocah itu terus saja berbicara tanpa memberi kesempatan pada Luqman untuk menyela.
Tiba-tiba suara bocah itu berubah. Kalau tadinya ia berkata begitu tegas dan terdengar "sangat" menusuk, kini ia bersuara lirih, mengiba. "Ketahuilah Tuan.., kami ini berpuasa tanpa ujung, kami senantiasa berpuasa meski bukan waktunya bulan puasa, lantaran memang tak ada makanan yang bisa kami makan. Sementara Tuan hanya berpuasa sepanjang siang saja. Dan ketahuilah juga, juatru Tuan dan orang-orang di sekeliling Tuan lah yang menyakiti perasaan kami dengan berpakaian yang luar biasa mewahnya, lalu kalian sebut itu menyambut Ramadhan dan 'Idul Fithri? Bukankah kalian juga yang selalu berlebihan dalam mempersiapkan makanan yang luar biasa bervariasi banyaknya, segala rupa ada, lantas kalian menyebutnya denga istilah menyambut Ramadhan dan 'Idul Fithri? Tuan.., sebelas bulan kalian semua tertawa disaat kami menangis, bahkan pada bulan Ramadhan pun hanya ada kepedulian yang seadanya pula.
Tuan.., kalianlah yang melupakan kami, kalianlah yang menggoda kami, dua belas bulan tanpa terkecuali termasuk di bulan ramadhan ini. Apa yang telah saya lakukan adalah yang kalian lakukan juga terhadap orang-orang kecil seperti kami...!
Tuan.., sadarkah Tuan akan ketidak abadian harta? Lalu kenapakah kalian masih saja mendekap harta secara berlebih?
Tuan.., sadarkah apa yang terjadi bila Tuan dan orang-orang sekeliling Tuan tertawa sepanjang masa dan melupakan kami yang semestinya diingat?
Bahkan, berlebihannya Tuan dan orang-orang di sekeliling Tuan bukan hanya pada penggunaan harta, tapi juga pada dosa dan maksiat. Tahukah Tuan akan adanya azab Tuhan yang akan menimpa?
Tuan.., jangan merasa aman lantaran kaki masih menginjak bumi. Tuan..., jangan merasa perut kan tetap kenyang lantaran masih tersimpan pangan 'tuk setahun, jangan pernah merasa matahari tidak akan pernah menyatu dengan bumi kelak..."
**********************
Wuahh..., entahlah apa yang ada di kepala dan hati Luqman. Kalimat demi kalimat meluncur deras dari mulut bocah kecil itu tanpa bisa dihentikan. Dan hebatnya, semua yang disampaikan bocah tersebut adalah benar adanya!
Hal ini menambah keyakinan Luqman, bahwa bocah ini bukanlah bocah sembarangan. Setelah berkata pedas dan tajam seperti itu, bocah itu pergi begitu saja meninggalkan Luqman yang dibuatnya terbengong-bengong. Di kejauhan, Luqman melihat bocah itu menghilang bak ditelan bumi.
Begitu sadar, Luqman berlari mengejar ke luar rumah hingga ke tepian jalan raya kampung Ketapang. Ia edarkan pandangan ke seluruh sudut yang bisa dilihatnya, tapi ia tidak menemukan bocah itu. Ditengah deru nafasnya yang memburu, ia tanya semua orang di ujung jalan, tapi semuanya menggeleng bingung. Bahkan, orang-orang yang menunggu penasaran di depan rumahnya pun mengaku tidak melihat bocah itu keluar dari rumah Luqman!
Bocah itu benar-benar misterius! Dan sekarang ia malah menghilang! Luqman tidak mau main-main. Segera ia putar langkah, balik ke rumah. Ia ambil sajadah, sujud dan bersyukur. Meski peristiwa tadi irrasional, tidak masuk akal, tapi ia mau meyakini bagian yang masuk akal saja. Bahwa memang betul adanya apa yang dikatakan bocah misterius tadi. Bocah tadi memberikan pelajaran yang berharga, betapa kita sering melupakan orang yang seharusnya kita ingat. Yaitu mereka yang tidak berpakaian, mereka yang kelaparan, dan mereka yang tidak memiliki penghidupan yang layak.
Bocah tadi juga memberikan Luqman pelajaran bahwa seharusnya mereka yang sedang berada di atas, yang sedang mendapatkan karunia Allah, jangan sekali-kali menggoda orang kecil, orang bawah, dengan berjalan membusungkan dada dan mempertontonkan kemewahan yang berlebihan.
Marilah berpikir tentang dampak sosial yang akan terjadi bila kita terus menjejali tontonan kemewahan, sementara yang melihatnya sedang membungkuk menahan lapar.
Luqman berterima kasih kepada Allah yang telah memberikannya hikmah yang luar biasa. Luqman tidak mau menjadi bagian yang Allah sebut mati mata hatinya. Sekarang yang ada dipikirannya sekarang , entah mau dipercaya orang atau tidak, ia akan mengabarkan kejadian yang dialaminya bersama bocah itu sekaligu smenjelaskan hikmah kehadiran bocah tadi kepada semua orang yang dikenalnya, kepada sebanyak-banyaknya orang.
Kejadian bersama bocah tadi begitu berharga bagi siapa saja yang menghendaki bercahayanya hati. Pertemuan itu menjadi pertemuan yang terakhir. Sejak itu Luqman tidak pernah lagi melihatnya, selama-lamanya. Luqman rindu kalimat-kalimat pedas dan tudingan-tudingan yang memang betul adanya. Luqman rindu akan kehadiran anak itu agar ada seseorang yang berani menunjuk hidungnya ketika ia salah.
********************
Luqman teringat kisah salah satu legenda tentang kampung yang tenggelam dan berubah menjadi danau. Ia lupa persisnya. Saat itu, ada nenek tua renta yang mengetuk hampir seluruh pintu penduduk kampung, yang saat itu sedang makmur hidupnya. Nenek itu meminta dengan mengiba, agar ada kiranya setetes air yang bisa melewati tenggorokannya yang kering. Tapi semua tak peduli bahkan menutup hidungnya, tak sudi mencium bau nenek yang menyengat. Tak satupun penduduk yang sudi menawarkan bejana berisi air untuk diteguk sang nenek.
Nenek itu akhirnya putus asa dan marah. Ia lalu pergi ke alun-alun dan menancapkan tongkatnya ditengah-tengahnya. Semua orang tak memperhatikan kemarahan sang nenek kecuali hanya terbengong sesaat ketika sang nenek kemudian menghilang. Dan semua awalnya tak mempedulikan, hingga pada suatu hari, berbulan-bulan setelah sang nenek menancapkan tongkatnya dan menghilang, mereka dilanda kekeringan dan kemarau yang berkepanjangan. Sawah mengering, panen pun jadi gagal. Ternak mereka kurus dan mati kelaparan. Tiada lagi anak-anak yang kuat dan berlari kesana kemari. Semuanya lesu, semuanya tidak punya energi.
Saat itulah, tetua kampung mengingatkan akan kejadian beberapa bulan yang lalu, kejadian mengenai sang nenek yang tidak dipedulikan penduduk kampung. Seketika mereka jadi ingat akan tongkat tersebut. Mereka menduga, tongkat sang nenek itulah yang menyebabkan timbulnya kekeringan air. Maka diperintahlah orang yang terkuat untuk mencabut tongkat tersebut. Tapi satu inci pun tidak terangkat. Mulailah rasa sesal datang.
"Kalau tahu begini, dulu aku suguhi dia sapiku yang terbaik," kata seorang penduduk. "Iya,kalau tahu bakal begini, dulu aku tidak meludahi dia," sahut yang lainnya. Sesal kemudian sering tiada berguna.
Tiba-tiba sang nenek datang dengan tersenyum. Dengan entengnya ia cabut tongkat itu, dan seketika keluarlah air dari bekas lubang tongkat itu. Penduduk menyambutnya dengan suka cita. Meledak tawa di seluruh penjuru kampung. Sayang, sorak-sorai penduduk kampung itu tidak bertahan lama. Air yang keluar tersebut makin lama makin bertambah besar dan makin besar saja, hingga menenggelamkan separuh desa. Ajal mendekat. Sebagian yang tersisa bersujud di hadapan Sang Khaliq, agar sudi kiranya menahan keluarnya air yang teramat dahsyat itu. Mereka tidak lagi mempedulikan harta bendanya yang terlanjur hanyut dibawa air. Mereka memohon diberi kesempatan hidup untuk memperbaiki diri.
Air memang berhenti keluar, tapi kampung sudah menjadi danau. Sayang Luqman lupa akan nama danau dan kampung pada legenda itu. Ia percaya, tidak akan ada legenda bila tidak ada kenyataan yang mendahului. Perihal besar dan kecilnya legenda, itu hanya bumbunya. Terbukti, kini Luqman mengalami sendiri kejadian yang begitu aneh. Pertemuan dengan bocah misterius itu bagaikan sebuah legenda.
Luqman tidak mau penduduk negerinya terus menerus tidak menginjak bumi dan tidak mengindahkan aturan-aturan Allah. Sehingga ketika sadar, kesadaran itu telah terlambat seperti kesadarannya penduduk yang separuh desanya menjadi danau tersebut. Luqman berniat, akan terus menggunakan lisannya untuk bersuara dan tangannya untuk menulis "agar seribu tahun" lagi kita masih mendengar tawanya anak bangsa dalam keadaan ceria....
Ah, bocah kecil, dimana kau berada...?
********************
Di setiap tetesan nikmat yang kita rasakan, ada baiknya kita mengingat bahwa ada orang lain yang juga berhak untuk merasakannya ...

By : Yusuf Mansur

0 komentar :

Posting Komentar


Diberdayakan oleh Blogger.
loading...

Entri Populer