Di umurnya yang hampir genap 46 tahun beliau masih bergelut dengan jarum mesin dan benang jahit. Wajahnya sudah nampak berkerut dengan rambut panjang yang jarang diurus. Dengan mesin jahit itu, beliau terus mencari nafkah untuk kehidupan yang lebih baik katanya. Berapa kali beliau mengungkapkan itu kepadaku tapi tak terlalu ku gubris. Bagiku ini adalah jalan yang terbaik yang telah Tuhan berikan untuk aku dan ibuku.
Ya…,mau gimana lagi, sosok suami yang seharusnya mendampinginya kini telah pergi demi cinta seorang pelacur. Kedua anaknya pun kini tak terlalu perduli dengan keadaannya. Tinggallah aku dan dirinya menjalani hidup yang mungkin kelak bisa berubah. Mungkin..?
Aku sendiri pun tak bisa berbuat banyak dengan tongkat di kedua bahu kiri dan kananku. Tapi setidaknya ada aku yang mendampingi beliau dengan semua keluh kesahnya. Ya..hanya aku yang tau rasa sakitnya yang terus menderu di sela-sela tulang sendinya. Penyakit reumatiknya menjadi-jadi jika malam tiba, dan aku benar-benar tak bisa berbuat banyak. Terkadang keluhannya itu mencabik-cabik hati ku ini. Aku hanya bisa menangis di dalam hati. Sosok wanita terkuat yang pernah aku kenal kini harus mengeluh karena penyakit reumatiknya yang tak kunjung sembuh. Aku hanya bisa membantunya mengosokkan param kocok di kedua kakinya berharap bisa sedikit mengurangi rasa sakit yang dialaminya. Sambil menyelami kepahitan hati yang tergambar dari wajahnya yang mulai lelah menjalani hidup yang semakin hari kian menyiksa batin dan jiwanya.
Pagi itu setelah sarapan, aku mengintipnya dari gerai jendela ruang tengah. Matanya fokus dengan apa yang ia kerjakan. Tapi aku tau otaknya tak bisa diam saja akan satu hal. Ada banyak bayang-bayang menggerogoti urat syarafnya. Pikirannya bercabang-cabang seperti akar pohon yang menjalar kesana kemari tak mungkin untuk bersatu. Permasalahan yang tak kunjung usai, mulai dengan hutang-piutang yang harus di bayar di bawah jatuh tempo, sewa rumah yang sebentar lagi akan habis dan beralih kepada obat-obatan yang harus diambil di rumah sakit itu besok pagi.

Ibuku sayang..Ibuku yang malang.., mengapa nasib kita tak pernah kunjung berubah dari waktu ke waktu.., Tuhan sepertinya tak pernah jemu-jemu memberikan cobaan buat kita. Dalam bentuk kemiskinan, penyakit dan derita-derita hidup yang lainnya. “Apa salah kita kepada Tuhan bu…, sehingga penderitaan ini terus saja berlanjut dari hari ke hari. Mana jalan Tuhan yang pernah Ia janjikan di dalam kitab suciNya itu…!!”. Aku mengeluh ketika sayur lodeh itu masuk ke dalam mulutku.
Setelah menyelesaikan semuanya, aku bersiap memakai sepatuku. Hari ini aku berencana untuk mencari kerja lagi. Biar pun aku tau tak ada yang bisa menerima aku bekerja dengan keadaan fisikku ini. Tapi aku tak putus harapan. Aku ingat dulu guruku pernah bercerita tentang kesabaran seorang hamba yang terus diuji. Dan berakhir dengan sukses yang ia peroleh, hanya itu yang bisa memacu adrenalin semangatku untuk menjadi yang lebih baik. Ibuku hanya memberikan semangat dan doa untukku. Walau aku tau dadanya begitu perih tapi Beliau tak bisa berkata banyak. Setelah kucium telapak tangan kanannya dengan perlahan kaki-kaki ku yang tak bertenaga ini kulangkahkan dengan semangat bara api.
Aku terlahir bukan sebagai anak yang cacat, tapi 1 tahun yang lalu dokter mendiagnosaku terinfeksi suatu virus yang menggerogoti tulang belakangku dan menyebabkan aku lumpuh. Walaupun agak merepotkan dengan tongkat-tongkat di kedua bahuku ini, tapi mau tak mau aku sangat membutuhkanya untuk berjalan. Entah sudah berapa banyak harta Ibuku habis terjual untuk biaya pengobatanku ini. Yang pasti aku tak mau hanya diam di rumah dan mengunggu malaikat Jibril mencabut nyawaku. Aku tak mau jika itu harus terjadi..!!. cukup sudah masa berkabung untuk diriku. Dan hari ini, hari ke 5 aku mulai kembali menata kehidupanku yang tragis ini.

Dulu aku pernah bekerja di perusahaan Telekomunikasi seluler yang cukup bonafide di kota ini. Tapi sayang “untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Aku di PHK kaerna keadaanku tak menunjang lagi untuk meningkatkan laba perusaan itu. Dan sepertinya teman-teman seperjuanganku juga tak bisa berbuat banyak untuk menolong aku bertahan di perusahaan itu. Kandaslah sudah semua harapan dan mimpi indahku. Kehilangan semua peluang dan kebebasan melangkah sangat mencabik hati ini. Tapi mau bagaimana lagi…, takdirku berkata lain kepadaku.
Dalam setiap doa sembahyangku, aku tak pernah luput untuk kiranya Tuhan segera mencabut penyakitku ini. Dan berharap bisa kembali sehat seperti sediakala agar aku bisa mewujudkan janjiku kepada Ibuku dulu untuk memberangkatkannya menunaikan Ibadah Haji. Tapi sepertinya Tuhan belum berminat mengabulkan doaku itu. Dan aku hanya bisa bersabar dan ikhlas dalam kabut derita ini, setidaknya itulah kata ibuku kepadaku.
Langkahku mulai gontai, perutku mulai lapar dan haus.., petunjuk waktu di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 4 sore.., aku harus kembali kerumah. Aku tak mau Ibuku berfikiran yang macam-macam. Aku tau pikiran orang tua jauh sepuluh langkah di depan kita. Makanya aku putuskan untuk segerah pulang ke rumah. Beberapa kantor yang telah aku masuki menolak lamaranku. Ibuku pasti sedih jika mendengar hal ini. Air mataku menetes dengan sendirinya di tengah dentuman bunyi tongkat yang menghujam bumi ini. “Maafkan aku Ibu…”, air mataku masih terus menetes pilu.
Sebenarnya aku ingin memaki Tuhan di kala itu, tapi rasanya mulutku tak sanggup untuk berucap sesuatu kepadaNya. Dengan cucuran keringat dan air mata aku memandang ke depan dengan wajah Ibuku yang menjadi semangat hidupku. Batinku masih bercokol dengan rasa perih yang teramat sangat. “Oh…Tuhan tolong aku dan Ibuku agar kiranya bisa kuat dari beban berat ini…”. Batinku mejerit.

Pukul 4.30 keadaan di depan rumahku di penuhi orang-orang yang tak pernah kulihat. Aku tak bisa menebaknya. Seribu perasaan menyerumput di hati ini. Dengan sisa-sisa tenaga yang aku punya, aku mempercepat langkah kakiku menuju rumah tua itu. Di depan teras samar aku melihat Pak RT sedang mengobrol dengan seseorang yang tak aku kenal. Para tetangga pun ikut hadir disana. Tiba-tiba saja ada perasaan takut menghinggapi pikiranku. “Jangan-jangan Ibu….”. aku semakin mempercepat langkahku.
“ Yang sabar ya..Nak…” Pak RT langsung memeluk diriku ketika aku sampai di teras rumah itu.
“Ada apa ini Pak…, Ibuku mana…!!!” aku berteriak.
“Ibumu tadi siang di bawah ke rumah sakit karena serangan jantung..” Pak RT terus memelukku erat dan tak bisa aku lepaskan dari tubuhku.
“Tidak mungkin Pak…, tadi pagi Ibuku masih sehat.., bapak bercanda kan..!!” aku kembali berteriak dan mencoba melepaskan diri dari pelukannya.
“Benar nak.., bapak ndak bohong.., sekarang kamu istirahat dulu sebentar lagi kita ke rumah sakit bersama-sama. Pak RT membujukku.
“Bapak gila…!!!, bagaimana saya bisa istirahat kalo Ibu saya ada di rumah sakit…!!, aku mau kesana sekarang…!!!, lepaskan Aku…!!! Aku merontak dalam pelukkan itu.
“Ya…sudah..kamu tenang dulu..!!, jangan panik..gitu.. kita pasti kesana koq…” kembali Pak RT menghiburku. Dan akhirnya kami berangkat menuju Rumah Sakit itu.
Selama di perjalanan pikiranku tak stabil.., Aku tak mau kehilangan Ibuku saat ini. Jika Ibuku mengginggal aku orang pertama yang akan menyusul dirinya. Hanya itu alibi yang menonjol dalam pikiranku.
“Nak Danu.., kamu jangan sedih.. Ibumu baik-baik saja di sana..” suara Pak RT mengagetkan aku dari lamunan yang panjang. Aku hanya diam dan menatap ke luar jendela mobil itu. Jarum-jarum dari langit tumpah ruah ke jalan seakan menambah peluh di dada ini. Kuhapus embun yang menempel di jendela mobil itu dengan jari-jemariku yang sedikit kaku.
“Ya..,Tuhan…, Tolong jangan kau Kaubawa Ibuku sekarang.., aku masih belum sanggup hidup tanpanya, tolong Tuhan…jangan dulu..” aku berdoa di dalam hati.
Jarum-jarum dari langit itu masih deras mengujam bumi ketika aku dan rombongan para tetanggaku tiba di pelataran parkir Rumah Sakit itu. Kakiku yang sedikit kram karna udaranya yang dingin tak terlalu ku keluh kan. Otak ku hanya fokus pada keadaan ibuku. Aku melaju dengan perlahan tertatih-tatih menaiki tangga Rumah Sakit itu. Melewati lorong-lorong yang lumayan sempit dan tiba di kamar 403 tempat Ibuku terbaring dengan infus di pegelangan tangan kanannya.
“Ibu…!!!” aku berteriak dengan air mata yang jatuh di kedua pipiku. Aku memeluk Beliau dengan erat. Aku tak mau kehilangan Beliau saat ini. Kembali aku menangis memeluk dirinya.
“Udah..,Nak.., Ibumu baik-baik saja.., Beliau cuma Istirahat sebentar.., dokter menyuntiknya dengan obat penenang agar Beliau cepat sembuh..” tante Butet menghiburku.
Aku hanya diam, tapi perasaanku kini mulai agak tenang. Tante Butet mengajak aku untuk mengobrol keluar ruangan, sepertinya Beliau akan membicarakan hal yang penting denganku. Tante Butet sudah seperti keluarga ku sendiri meski Beliau hanya tetangga sebelah rumahku, Beliau benar-benar baik kepada keluarga kami.
“Tadi siang Ibu Yuli datang menagih utang ke rumahmu.., Ibu Yuli mengancam jika tidak dilunasi besok pagi, Ibumu akan dilaporkan ke polisi.., makanya mungkin Ibumu shock mendengar hal tersebut. Tapi kamu jangan khawatir.., utang Ibumu kepada Ibu Yuli sudah tante lunasi..”. tante butet memandang jauh ke dalam mataku. Aku kembali meneteskan air mata.., perasaan campur aduk di hati ini. Aku benar-banar tak bisa berbuat banyak untuk membahagiakan Ibuku. Aku memeluk tante butet dengan air mata membasahi punggung bajunya.
“Makasih banyak tante.., tante udah terlalu baik kepada kami. Bagaimana aku harus membalas kebaikan ini..,” aku masih menangis dalam pelukannya.
“Jangan kau pikirkan dulu soal itu…, yang penting kamu rawat dulu Ibumu disini.., dan kalau bisa hubungi semua saudaramu, mungkin mereka bisa sedikit membantu untuk biaya Rumah Sakit ini…, kamu ngerti kan…?” suara tante Butet samar di telinggaku. Aku hanya mengangu kan kepala saja.

Pukul 03.35 aku duduk di balkon ruang tunggu untuk pasien. Dari semalam mataku tak mau terpejam, pikiranku kusut, dan perutku terasa lapar tapi tak nafsu makan. Pikiran tentang biaya Rumah Sakit menghantui segenap laraku. Aku kembali terpuruk dalam keadaan ini. Bagaimana aku bisa menghubungi saudara-saudaraku seperti yang tante Butet katakan, kalo nomor telponnya saja aku tak punya. Ahh..bangsat..!!! Sepertinya aku benar-benar sendiri hidup di dunia ini..!! aku merasa kesal. Kakiku sudah kram sejak dari semalam tapi masih tak kupedulikan.
Pokoknya aku harus cari cara agar bisa melunasi biaya Rumah Sakit ini nanti. Aku ingat dulu ibuku tak pernah menyerah dalam mengahadapi cobaan hidup ini.. Aku belajar banyak darinya. Bayanganku masih melekat tajam bagaimana Ibuku dengan tertatih-tatih bangun di tengah malam membuat adonan kue untuk dititipkan ke warung sebelah dengan mengharapakan keuntungan 50 rupiah perbuahnya.., sesak dada ini jika mengingat hal itu. Kadang adonan kue itu terbengkalai karna jahitannya yang lumayan banyak. Ibu ku benar-benar Wanita yang Hebat dan begitu malang Nasibnya. Air mataku jatuh kembali di kedua pipiku.
Beliau juga pernah tinggal di rumah kostan yang sempit seukuran 2×1,5 meter selama satu bulan kaerna harus menghindari hutang yang belum sanggup ia bayar.., aku menyebut itu peti kuburan dari pada kamar..!! ya.., sedangkan saudaraku hanya bisa memaki dirinya dengan sebutan Ibu yang memboros..!!, dasar anak durhaka..!! hatiku mulai kembali tercabik jika mengingat hal itu.
Sosok mantan suaminya pun sama saja tak punya otak dengan saudaraku itu. masih gila memikirkan vagina dan payudara. Anjing kalian semua..!!!.
Subuh itu aku makin terpuruk.., tongkat di kedua sisi tubuhku ini benar-benar jadi penghalang.., “Ya.Tuhan.., begitu berat cobaan yang KAUberikan  kepada aku dan Ibuku.., tolong Kauberikan sedikit sinarmu dari atas sana agar aku bisa sedikit berfikir tentang hari esok yang mungkin cerah buat kami..” aku mengakhiri sholat ku dengan berdoa itu kepada Tuhan yang katanya Maha Pemurah dan Maha Pengasih. Amin.
Suara tante Butet mengagetkan aku ketika aku terlelap di kursi branda di sebelah ranjang Ibuku terbaring. Pukul 07.05 tante Butet sudah menjenguk aku dan Ibuku dengan membawakan sedikit makanan ringan untuk ku mengisi perut yang memang sangat lapar. Ibuku masih belum sadar dari alam abstraknya. Dengan gontai aku menuju ke kamar mandi umum dan sedikit membasahi wajahku yang tampak kusut masai. Aku harus berfikir bagaimana cara memdapatkan dana untuk membayar biaya Rumah Sakit ini dengan atau tanpa bantuan dari saudara-saudaraku yang durhaka itu. Kembali aku duduk di kursi pengunjung Rumah Sakit itu dangan bekal makanan yang tante Butet bawakan tadi sembari berfikir dan berfikir.
Tiba-tiba ada yang menggigit di dalam kantong celanaku. Handphone bututku berteriak untuk segera diangkat. Sebuah nomor asing yang tak kukenal terpampang jelas di layar mungil itu.
“Halo…!! Bisa bicara dengan saudara Danu Artha” sosok suara wanita di ujung telpon menyebut namaku.
“Ya.., saya sendiri…, maaf anda siapa..” aku sedikit menggali informasi.
“Saya Gendhis dari majalah Wanita.., maaf harus menggangu anda sepagi ini..” suara itu setengah menyalakan diri.
“Majalah Wanita…, hmm…, ada yang bisa saya bantu mbak..” aku sedikit berfikir.
“Ya.., Saya sudah baca cerpen anda yang berjudul “Kartini Dialah Ibuku”, dan saya benar-benar tertarik dengan isi cerpern tersebut. Maka dari itu saya selaku pengasuh Rubik majalah ini akan memuat tulisan anda di majalah kami. Apakah anda setuju…??” suara wanita itu menghujam sisi lain dari hatiku. Aku diam dan hampir meneteskan air mata.
“Haloo…, saudara Danu.., ada masih di sana…?” suara itu membuyarkan lamunanku.
“Ya mbak.., saya setuju sekali.., terima kasih sudah mau menerima tulisan saya itu…” aku memahan air mataku yang hampir pecah.
“Kalo begitu.., bisa saya minta nomor Rekening anda.., kami akan berikan sedikit imbalan untuk anda..” wanita itu sedikit tertawa.
“Ya..,mbak segera saya kirimkan nanti.., terima kasih..” tangis ku pecah saat itu juga”. Haru dan mencabik hati.
“Oya…, sebenarnya kami sangat membutuhkan orang-orang yang punya imajinasi seperti anda untuk bergabung dengan majalah kami, apakah anda berminat..??” suara wanita itu semakin renyah terdengar.
“Alhamdulliah…, saya sekarang memang sedang butuh apresiasi mbak.., saya berminat sekali. Tapi apakah keadaan fisik saya tak mengahalangi untuk bergabung di majalah mbak..” dengan terseduh aku mengeluh kepada Beliau.
“Kami tak butuh gaya.., tapi kami butuh Kreasi dan imajinasi.., apakah anda senang mendengarnya..?” kembali dia tertawa kecil.
“Allahu akbar…!!!, terima kasih mbak.. saya senang mendengar hal itu..”
“Ya..sudah jam 10 saya tunggu anda di kantor saya di jalan Penjahitan No.35 menteng jakpus. Ingat jangan terlambat..,saya benci orang yang tak sadar diri…” wanita itu sedikit mengultimatumku.
“Ya.. mbak.., saya akan datang 30 menit sebelum janji itu. terima kasih”. Kedua tongkatku seakan jatuh sendiri tanpa ada yang menyentuhnya. Aku tau itu adalah malaikat yang Tuhan kirimkan untukku. Aku sujud syukur di ruang tunggu pasein itu dengan air mata berderaian. Semua orang yang lewat menandangiku antara Iba dan aneh, aku tak perduli. Tangisku kembali pecah di dalam pelukan tante butet setelah Beliau kuceritakan kejadian yang baru ku alami itu.
Tante butet senang bukan kepalang mendengarya…, dan Beliau yakin jika Ibuku mendengar hal ini juga akan bahagia sekali. Mulai saat itu kepercayaanku mulai tumbuh kembali, setidaknya aku bisa membayar biaya Rumah Sakit ini dan semua hutang-hutang ibuku dengan gaji yang nanti aku peroleh. Terima kasih Ya..Allah.., doaku terkabulkan juga.
Kini dua minggu kemudian Ibuku sudah kembali ke rumah kontrakkan kami. Tubuhnya masih lemas tapi semangat hidupnya masih bisa aku rasakan dari pancaran kedua matanya, seperti semangat hidupku yang berasal dari jantungnya. Aku menyalami kedua tangannya sebelum berangkat menuju duniaku yang baru. Dunia untuk orang-orang yang tak pernah patah semangat seperti Ibuku yang sosoknya menyerupai sosok wanita terkuat yang pernah ada, dan akan tetap harum namanya seperti Kartini, karna Dialah Ibuku. I Love U Mom…

(IwanSteep)

0 komentar :

Posting Komentar


Diberdayakan oleh Blogger.
loading...

Entri Populer